Mendengar “transgenik” tentu bukan merupakan hal baru
dalam dunia pertanian dan pangan, kehadirannya memberikan kontroversi
tersendiri bagi masyarakat dunia. Tanaman transgenik adalah tanaman
yang disisipi gen
asing dari spesies
tanaman yang berbeda atau makhluk hidup lainnya. Proses ini dilakukan bertujuan
untuk mendapatkan tanaman dengan sifat khusus yang kita inginkan, contohnya penanaman
gen pembawa sifat yang tahan suhu tinggi, suhu rendah, kekeringan,
resisten terhadap hama, serta digunakan dalam perbaikan
kualitas dan kualitas tanaman. Proses transfer gen ini sudah dilakukan sejak
tahun 8000 SM. Dalam dunia pertanian
sekarang kita dapat temukan banyak sekali tamanan transgenik yang sering kita
konsumsi setiap hari seperti semangka tanpa biji, semangka kuning, kedelai
super, padi
hibrida, kentang
super, ubi jalar,
dan tomat
super. Bahkan pemanfaatan tumbuhan itu pun berlanjut seperti tahu, tempe, dan susu kedelai
juga terbuat dari tumbuhan transgenik kedelai.
Jika kita kembalikan pada sifat
masyarakat Indonesia yang notabene adalah pelaku konsumtif, maka sangat
dimungkinkan pemanfaatan tanaman transgenik ini akan mempengaruhi sistem
perekonomian di Indonesia. Ketika masyarakat memilih menggunakan tanaman
trangenik dengan keunggulan sifat tanaman yang lebih baik dan berkualitas, mereka
akan meninggalkan tanaman produk lokal yang mereka anggap “kurang berkualitas”.
Hal ini jelas mematikan pangsa pasar di Indonesia, yang kita tahu hampir
sebagian besar masyarakat kita adalah petani. Mau tidak mau, ketika minilik
pangsa pasar tersebut, petani harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli
benih dan bibit transgenik yang harganya jauh lebih mahal dibandingkan bibit
lokal. Padahal perlu kita tahu, benih dan bibit tamanan transgenik disisipi
"gen bunuh diri" yang menyebabkan tanaman hanya bisa ditanam satu
kali dan biji keturunan selanjutnya bersifat mandul (tidak dapat berkembang
biak). Setiap kali akan bercocok tanam, petani harus membeli bibit dengan harga
yang tinggi namun hasilnya tidak dapat digunakan untuk bibit kembali, irois
memang. Hal ini bisa terjadi dan jelas sekali mengutungkan Negara-negara
berkembang yang memproduksi bibit transgenik dan memicu arus modal yang besar
bagi Negara- Negara berkembang yang mampu membuat bibit dan benih trangenik,
karena kita tahu di Indonesia belum mampu mengembangkan bibit sendiri dan masih
impor dari Negara maju lainnya.
Dari sistem penanaman transgenik
menjadikan sistem perekononian di Indonesia tidak mendukung masyarakatnya
sendiri, akan mematikan dan membunuh masyarakat Indonesia. Apakah dengan itu falsafah
nasional Indonesia dalam pancasila tentang “Keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia” terlaksana dengan baik dan tepat. Bukankan kita pernah menjadi Negara
lumbung padi terbesar Se-Asia tenggara jaman Presiden Soeharto, namun kenapa
saat ini kita justru menjadi Negara yang menjadi tujuan impor Negara- Negara
berkembang. Ternyata perlu di tinjau kembali semuanya dengan lebih baik.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi memang menjadi tuntutan kita untuk memperluas SDM agar manusia
Indonesia menjadi berkualitas, namun hal tersebut juga tidak menjadikan kita lupa
akan potensi SDA yang melimpah di negeri subur kita ini. Sehingga kemajuan
IPTEK tidak menjadikan kita lupa dan meninggalkan potensi alam yang melimpah
baik di sekitar kita. Kita boleh berpikir global, namun dalam bertindak dan
bersikap haruslah regional agar mampu menjunjung dan memberdayakan potensi kita
sendiri, tanaman trangenik ini memang menghadirkan varietas unggul baru dalam
dunia pertanian dan pangan, namun hal ini tidak menjadikan komuditas tanaman
lokal kita kalah saing dalam pangsa pasar nasional, cobalah kita cerna kembali.
Bukankah tamanan trngenik hadir dari tamanam lokal yang di sisipi gen, jika
tanaman lokal punah dan menjadi langga dari ekosistemnya karena masyarakat
sudah tidak mau menanfaatkannya, lalu bagaimana proses transgenik bisa terus di
lakukan, karena pada hakikatnya tanaman transgenik hanya untuk satu kali panen
dan tidak dapat dijadikan benih.
Keputusan Menteri
Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan,
Menteri Kesehatan, dan Menteri
Negara Pangan dan Hortikultura mengenai "Keamanan Hayati dan
Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetika Tanaman" No.998.I/Kpts/OT.210/9/99
; 790.a/Kptrs-IX/1999 ; 1145A/MENKES/SKB/IX/199 ; 015A/Nmeneg PHOR/09/1999, menjadikan masyarakat Indonesia mampu menseimbangkan
pemanfaatan tanaman lokal dan tamanan transgenik dengan tidak merugikan,
mengganggu, dan membahayakan keanekaragaman hayati, sistem perekonomian
serta pangsa pasar Nasional kita agar pemanfaatan SDA semata-mata demi
kemakmuran rakyat Indonesia sukses dalam pelaksanaannya harus kita dukung. Dengan
begitu, “Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia” terwujud demi
kemakmuran masyarakat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar